TIMES HONGKONG, BONDOWOSO – Setiap menjelang pemilu, pembahasan tentang NU dan Politik selalu menarik perhatian, tak terkecuali di pemilu 2024.
Pertama sekali, saya ingin tegaskan bahwa dalam tulisan ini, saya tidak akan membahasa tentang rumor dan desas-desus ihwal keterlibatan PBNU dalam urusan politik pada pemilu 2024 yang sedang ramai di pelbagai platform media konvensional maupun media sosial.
Di dalam tulisan ini, pertama, saya hanya ingin menyuguhkan beberapa sikap dan ketegasan yang telah dicontohkan oleh para kiai NU tentang bagaimana NU dan Politik. Seperti misalnya, sikap dan ketegasan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), di dalam pembukaan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada hari senin 29/01/2024 lalu. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa tugas NU memenangkan Indonesia, bukan capres tertentu. "Urusannya NU itu memperbaiki kinerja, memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres".
Pernyataan tegas Gus Mus tentang Posisi NU dalam kontestasi pemilu menjadi peringatan kepada Jamiyyah Nahdlatul Ulama untuk senantiasa berpegang teguh pada garis perjuangan (khittah) NU yang fokus berkhidmat pada Bangsa dan Negara tercinta Indonesia. Bukan cawe-cawe dalam urusan politik praktis.
Selain Gus Mus, sikap dan ketegasan tentang bagaimana NU dan Politik juga di contohkan oleh KH. M.A. Sahal Mahfud melalui gagasannya dengan nama politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama. Praktik politik ini demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Selain Gus Mus dan Kiai Sahal, KH. Abdul Muchith Muzadi juga memberikan contoh sikap dan ketegasan tentang bagaimana NU dan Politik. Di dalam bukunya Mengenal Nahdlatul Ulama (2006: 33), Kiai Muchith Muzadi menjelaskan bahwa “Nahdlatul Ulama memang dilahirkan tidak sebagai partai politik, namun merupakan kekuatan (potensi) politik yang sangat besar, karena anggota atau pengikutnya yang puluhan juta jumlahnya. Oleh karena itu, semua partai politik selalu ingin mempengaruhi pimpinan Nahdlatul Ulama supaya mendapat kekuatan politik.
Dalam keadaan seperti ini Nahdlatul Ulam dapat memainkan politiknya, untuk mempengaruhi partai–partai politik”. Sekali lagi saya ingin menegaskan pernyataan inti dari Kiai Muchith Muzadi bahwa Nahdlatul Ulama dapat memainkan politiknya, untuk mempengaruhi partai–partai politik, bukan sebaliknya, partai politik yang mempengaruhi Nahdlatul Ulama.
Lebih lanjut, Kiai Muchith Muzadi menjelaskan bahwa “Nahdlatul Ulama bermain politik tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari kursi–kursi politik, tetapi bagaimana para politisi (yang duduk dalam kursi-kursi politik itu) dapat dikerahkan dan diarahkan sesuai garis politik yang diinginkan oleh Nahdlatul Ulama. Politik yang dimainkan oleh Nahdlatul Ulama adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan seluruh bangsa, tidak hanya untuk kepentingan partai atau kelompok.
Kedua, saya rasa dalam kesempatan ini, perlu menyuguhkan kembali Khittah NU, butir 8 alinea 6 sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang berbunyi: “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun juga”.
Kalimat ini diteruskan dengan alinea berikutnya sebagai berikut: “setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga yang mempunyai hak–hak politik yang dilindungi Undang–Undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak–hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.”
Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU
Pertama, berpolitik bagi NU adalah bentuk keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
berpolitik haruslah didasarkan kepada wawasan kebangsaan untuk menjaga keutuhan bangsa.
Kedua, berpolitik adalah wujud dari pengembangan kemerdekaan yang hakiki untuk mendidik kedewasaan warga guna mencapai kemaslahatan bersama.
Ketiga, berpolitik harus diselenggarakan dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
Keempat, berpolitik harus diselenggarakan dengan kejujuran, didasari moralitas agama, konstitusional, dan adil sesuai dengan norma-norma dan peraturan yang disepakati.
Kelima, berpolitik dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, bukan malah menghancurkannya.
Keenam, berpolitik, dengan alasan apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah bangsa.
Ketujuh, perbedaan aspirasi politik di kalangan warga nahdliyyin haruslah tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai satu sama lain.
Kedelapan, politik harus mendorong tumbuhnya masyarakat yang mandiri sebagai mitra pemerintah, begitu rupa sehingga penyelenggaraan negara tidak boleh bersifat state heavy, melulu dikuasai pemerintah dengan mengabaikan aspirasi masyarakat, melainkan bersifat dua arah dan timbal balik.
Sebagai catatan penutup dari tulisan ini, bahwa NU dilahirkan sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak terikat oleh partai politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. Dan "NU adalah perkumpulan perjuangan yang terkait cita-cita bersama, bukan oleh kepentingan bersama," Gus Dur.
***
*) Oleh : Muhammad Zainal Abidin, Dosen STAI Al Utsmani Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Writer | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |