TIMES HONGKONG, JAKARTA – Moralitas dalam bernegara tidak habis-habisnya menjadi perbincangan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI-2023 membikin residu berkepanjangan dengan melibatkan banyak pihak berkepentingan. Nampaknya, perbincangan hari ini akan mejadi ingatan historis yang terus mengendap dalam perjalanan bangsa.
Dari fenomena tersebut, kita disuguhkan dengan adegan dari ikhtiyar perbaikan. Kita melihat “sang budayawan” melakoni adegan nasib kebangsaan di panggung tontonan, para “sesepuh” yang kembali melenggang dalam laga pertempuran politik, hingga gugatan korektif judicial activism di Mahkamah Konstitusi yang terus silih bergantian. Gerakan dan sikap semacam ini mencerminkan adanya kepedulian tentang nasib bangsa di masa depan. Bagaimanapun berserakan konstitusi negara dan kusut moralitas bangsa, aktivitas bernegara tetap harus berlanjut seperti sedia kala.
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi pun tidak mampu-tidak mau-mengoreksi kembali tindakannya yang mengandung kecacatan etik. Melalui Perkara 145/PUU-XXI/2023, Mahkamah memutus pengajuan formil tentang keabsahan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di bawah usia 40 tahun sebagai aturan yang legal dan dapat dibenarkan secara konstitusional. Mahkamah takut beranjak dari status quo dan kemandekan berhukum pada kerangka yang legalistik dan formalistik. Mereka lebih memilih diam dengan pengakuan “proses formil yang salah tidak otomatis membikin keputusan materil yang salah”.
Secara konseptual, pelaksanaan dari suatu keputusan kolektif adalah bentuk keharusan. Hal serupa juga pernah disebut dalam diskursus ketatanegaraan (siyasah) tentang empat hal yang memungkinkan demokrasi tetap eksis, diantaranya pelaksanaan hasil-hasil dari kesepakatan bersama (wujubu al-syuro al wulati al-umur), pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara (al-masuliyyah al-fardhiyyah), orientasi kepentingan bersama (umumi al-huquq baina al-nas), serta penghargaan dan penghormatan terhadap adanya setiap perbedaan di antara sesama (at-tadhomu baina ar-ra’yati ala ikhtilafi ath-thawaif wa at-tabaqat).
Akan tetapi, moralitas kita tidak menghendaki kepatuhan terhadap suatu keputusan atau konsensus yang dihasilkan dari proses yang tidak benar. Terdapat suatu pengingkaran moral dan keadilan yang dapat kita saksikan sebagai warga negara di balik keabsahan pencalonan yang jelas melanggar etik, tetapi dibuat absah dan legal secara kelembagaan. Jika demikian, fenomena ini akan menuntun pada sesuatu yang berulang dari perjalanan bangsa.
Di satu sisi, bangsa akan merekam rangkaian praktik politik dinasti dan proses pelemahan konstitusi ini sebagai tindakan yang amoral. Terdapat ambisi kekuasaan dengan memanfaatkan perangkat dan lembaga kenegaraan, dengan cara-cara yang picik, dan tidak sesuai dengan keadaban publik.
Di sisi yang lain, pada gilirannya juga, luka konstitusi yang dihasilkan dari kebengisan politik penguasa itu dihadapkan pada sikap bangsa yang melodramatik. Bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf yang tidak suka menaruh beban dendam terhadap kesalahan penguasa. Mereka gampang digiring pada kebenaran temporal dan aksioma pikiran pada setiap rangkaian politik yang berlangsung. Ingatan tentang luka itu hanya mungkin bertahan dan survive pada mereka yang terdampak langsung atau mereka secara moral dan perjuangan dikhianati.
Sebutlah residu efek dari citra semu yang ditampilkan, atau propaganda kebengisan ofensifitas berdebat dalam rangkaian debat Calon Presiden. Dari framing citra dan isu yang demikian, banyak ditampilkan simpati yang berlebihan sebagai bahan untuk menjatuhkan satu sama lain. Bahkan, dalam taraf yang lebih ekstrem, diskursus dalam perdebatan kemarin ditarik dalam objek tafsir keagamaan. Debat yang pada mulanya menjadi ajang uji gagasan dan rasionalisasi visi kepemimpinan, akhirnya cenderung melankolis sebagai tontonan.
Persoalan yang menarik untuk diajukan adalah bagaimana seharusnya entitas dari luka konstitusi itu mengendap dalam benak bangsa?
Persoalan itu pada gilirannya tidak cukup sekadar direspons dengan sikap melodramatik yang selalu berusaha untuk memaafkan. praktik politik dinasti dan luka konstitusi yang demikian harus menjadi ingatan kolektivisme bagi setiap warga negara. Aktivitas bernegara merupakan kegiatan yang kontinu dengan menjadikan masa lalu sebagai pijakan keberlanjutan bagi kepemimpinan yang akan datang.
Dengan demikian, aktivitas bernegara hanya mungkin berlanjut ke arah yang lebih baik jika terdapat kemampuan dalam mengevaluasi setiap agenda periodisasi rutinan; aktor yang terlibat di dalamnya, rekam jejak, capaian-capaian, serta visi dan misi pembangunan ke depan.
Dalam kaitannya dengan moralitas, proses dalam bernegara harus dilihat sebagai suatu konsensus yang memiliki nilai sublim dalam pelaksanaannya. Dalam konteks gelaran Pemilu, kita tidak cukup hanya dengan memaafkan dosa penguasa di masa lalu, tetapi juga menjadi evaluasi dan pertimbangan dengan mekanisme legal-formal. Moralitas membutuhkan kejernihan rasionalitas dengan menggunakan sejumlah variabel pertimbangan untuk mencapai pilihan yang valid. Dalam konteks kekinian, sikap yang melodramatik menjadi tidak tepat dalam proses menilai kerangka kerja politik saat ini.
Menyambut Pemilu mendatang, diperlukan keberanian untuk keluar dari kungkungan keabsahan dan legalitas berhukum yang direkayasa dalam kebenaran semu, politik yang mengakar kuat pada citra elitisme kekuasaan, dan dosa-dosa penguasa yang gampang termaafkan.
***
*) Oleh: A Fahrur Rozi, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Writer | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |